Sabtu, 28 September 2019
Kamis, 19 September 2019
Perjalanan Sejarah Kota Piring
Kerajaan di Hulu Riau dan
Istana Kaca Puri, Kota Piring
Tanjungpinang,
sebuah kota yang nyaman dan indah, Ibukota Kepulauan Riau yang mempunyai ciri
budaya Melayu. Keragaman suku dan budaya ada di kota ini, kota kelahiranku
tercinta. Sejauh mata memandang, kota Gurindam ini menyimpan banyak peninggalan
situs-situs sejarah Kerajaan Melayu Riau,
yang harus dirawat serta dilestarikan. Salah satu situs sejarah yang
hampir terlupakan oleh masyarakat Tanjungpinang adalah Kota Piring.
Awal
Mula Kerajaan
Istana Kota Piring
terletak di RT 03/RW 07, Kelurahan Melayu Kota Piring, Kecamatan
Tanjungpinang Timur, Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau. Kota Piring, Sebuah situs peninggalan
sejarah Kerajaan Riau. Di kota Piring, terdapat Istana yang dahulu
dijadikan sebagai pusat pemerintahan Kesultanan Melayu, Johor, Pahang, Riau,
dan Lingga. Sejarah menyebutkan bahwa, dulu di Pulau
Bintan berdiri Kerajaan Bentan. Kerajaan tersebut ada, jauh
sebelum Kerajaan Melayu, Singapura, Malaka, Johor, Riau dan Siak
Indrapura
berdiri. Masyarakat Kerajaan Bentan, serumpun
dengan masyarakat melayu di Malaysia dan Singapura. Sebutan Pulau Bentan, berasal dari
kata “Gunung Berintan”, namun seiring berjalannya waktu sebutannya
berubah menjadi Gunung Bentan dan kini dikenal dengan
kata Bintan. Kerajaan
Bintan kemudian menjadi bawahan Kerajaan Malaka pada Tahun 1396-1511. Setelah
Malaka jatuh ke tangan Portugis pada Tahun 1511, penguasa Kerajaan Malaka yang bernama
Sultan Ahmad melarikan diri, dan memindahkan
pusat pemerintahan Kerajaan Malaka ke Pulau Bintan. Namun, terjadi sengketa di dalam
keluarga Kerajaan yang menyebabkan
Sultan Ahmad terbunuh. Sultan Ahmad kemudian dimakamkan di Bukit
Batu, dan kedudukan Sultan Ahmad digantikan oleh Sultan Mahmud.
Pada saat
Kerajaan Bintan diserang oleh Portugis Pada Tahun 1526, Sultan Mahmud dan
Laksamana Hang Nadim berperang tak gentar melawan penjajah, namun usaha mereka memperjuangkan Kerajaan Bintan
dari tangan Portugis gagal. Belanda dan Inggris sebagai pesaing dagang Portugis,
tidak tinggal diam setelah Portugis menguasai perairan Semenanjung Malaka. Belanda
yang didukung Johor dan Aceh merebut Malaka dari tangan Portugis, pada 14
Januari 1614. Setelah itu, keturunan Sultan Mahmud pada Tahun 1677 membentuk
persekutuan kerajaan Melayu, meliputi Kerajaan Johor, Pahang, Riau, dan Lingga,
yang berpusat di Daik. Pada awal persekutuan dipimpin oleh Sultan Ibrahim Syah
(1677-1685), kemudian digantikan oleh anaknya, Sultan Mahmud Syah (1685-1699). Pergantian
Raja tersebut menimbulkan pertikaian di dalam Kerajaan, terjadi perselisihan
antara Hulubalang yang bernama Laksamana Megat Sri Rama yang membunuh Sultan
Mahmud Syah, kemudian Kekuasaan beralih ke tangan Bendahara Tun Abdul Jalil yang
memindahkan kembali pusat pemerintahan ke Johor.
Pada Tahun 1718, Raja Kecil dari Siak menentang pemerintahan Sultan
Johor yang dipimpin oleh Tun Abdul Jalil, beliau mengaku sebagai keturunan
Sultan Mahmud Syah. Tun Abdul Jalil pun berusaha menggulingkan kekuasaan Raja
Kecil, upaya merebut kekuasaan tersebut didukung oleh beberapa keturunan
bangsawan Melayu yaitu, Melayu Minangkabau, dan Suku Laut. Raja Kecil terus
melancarkan serangan ke Johor hingga akhirnya Tun Abdul Jalil terbunuh. Putra
Tun Abdul Jalil yang bernama Sulaiman Badrul Alam Syah menjadi dendam atas
terbunuhnya sang Ayah, beliau meminta bantuan dari Opu Bugis Lima Bersaudara
yang terdiri dari Daeng Parani, Daeng Marewah, Daeng Chelak, Daeng Menambung,
dan Daeng Kemasi untuk menyerang Kerajaan yang dipimpin Raja Kecil. Terjadi
peperangan antara pasukan Sulaiman Badrul Alam Syah yang bergabung dengan
angkatan perang Bugis melawan pasukan Raja Kecil di Bintan dan Siak, Raja Kecil
kalah dalam pertempuran lantas Sulaiman Badrul Alam Syah diangkat dan dinobatkan
sebagai Sultan Johor.
Di bawah kepemimpinan Sulaiman Badrul Alam Syah pusat Kerajaan Johor
kembali ke Bintan dengan dibangunnya istana Kota Piring yang menjadi pusat
pemerintahan, Kota Piring menjadi simbol kedaulatan Kesultanan Melayu (Johor,
Pahang, Riau, Lingga). Penetapan Kota Piring sebagai pusat pemerintahan tak
lepas dari peran Laksamana Malim Dewa seorang juru mudi kapal kebesaran bangsa
Melayu, Lancang Kuning. Beliau menemukan sebuah tempat di bagian hulu Sungai
Carang yang tepat sebagai pusat pemerintahan. Sejak 4 Oktober 1722 Sultan
Sulaiman Badrul Alam Syah memerintah di kerajaan itu, kemudian digantikan oleh
putranya yang bernama Sultan Jalil Muazam Syah (1760 -1761), dan selanjutnya
dipimpin oleh cucunya yang bernama Sultan Abdul Jalil Syah atau yang dikenal
dengan Sultan Mahmud Syah III (1761-1812).
Pada saat Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah memerintah, Daeng Marewah
diberi kehormatan memangku jabatan sebagai Yang Dipertuan Muda (Raja) Riau I
(1722-1728), setelah wafat digantikan oleh Daeng Celak sebagai Yang Dipertuan
Muda Riau II (1728-1745). Pusat Kesultanan Kerajaan Riau berkedudukan di Sungai
Carang Hulu Riau semakin dikenal ketika seorang Bugis yang diberi gelar Yang
Dipertuan Muda Riau menjadi bagian penting dari susunan pemerintahan, Beliau
mendapat gelar tersebut karena teguh dalam mempertahankan kedaulatan kerajaan
dari campur tangan Belanda, seorang Bugis tersebut ialah Yang Dipertuan Muda
Riau IV, Raja Haji.
Raja Haji menjadi Yang Dipertuan Muda Riau IV menggantikan Daeng Kamboja
sebagai Yang Dipertuan Muda III, Raja Haji menjadi sosok yang disegani karena
tegas terhadap Penjajah. Istana Kota Piring merupakan Ibukota Kesultanan Johor,
Pahang, Riau, dan Lingga dibangun oleh Raja Haji (1777-1784). Pembangunan
Istana baru ini sebagai upaya pengembangan kawasan baru dari kesultanan
Kerajaan di Hulu Riau, namun sekarang lebih dikenal dengan Kota Lama. Raja Haji
kemudian mendirikan Istana baru di Pulau Biram Dewa, yang dikenal dengan nama
Istana Kota Piring. Pada masa sekarang pusat Kesultanan Kerajaan di Hulu Riau
dikenal dengan sebutan Kota Lama dan Pulau Biram Dewa sebagai Kota Baru. Dalam
sejarahnya, dijelaskan bahwa Raja Haji membuat Istana di Pulau Biram Dewa, sebuah
Istana bertahta pinggan dan piring, dinding nya berlapis cermin, kaki tiangnya
berbalut tembaga sehingga apabila terkena sinar matahari dan sinar bulan
memancarkan cahaya.
Wilayah Pulau Biram Dewa, Letak Istana Kaca Puri, Kota Piring
(Sumber: BPCB Kota Tanjungpinang)
Di sisi lain, Belanda berseteru dengan Inggris dalam penguatan pasukan
di Semenanjung Malaka, Belanda melibatkan masyarakat Melayu dalam pertikaian
itu. Puncak perseteruan terjadi ketika Belanda kemudian secara sepihak menyita kapal
milik Inggris, Belanda Dituduh melanggar perjanjian karena tidak menyerahkan
sebagian muatan kapal inggris yang didapatkan tersebut kepada Kerajaan Johor.
Kapal Inggris tersebut dinahkodai Kapten Robert Geddes, yang membawa 1.154 peti
candu, kapal tersebut kemudian ditawan dan dirampas isinya oleh Residen Belanda
yaitu Gerrid Pangal, atas perintah dari Gubenur Melaka Pieter Geradus de
Bruijn. Belanda merampas kapal Inggris dan barang sitaannya dengan tidak
melibatkan Raja Haji sebagai otoritas lokal Kesultanan Johor. Raja Haji kemudian
mendatangi Belanda untuk melakukan perundingan, namun perundingan tersebut mengalami
kebuntuan dan gagal, Belanda tersinggung dengan sikap Raja Haji yang dianggap
berpihak kepada Inggris.
Belanda menyerang Kota Piring pada 6 Januari 1784, namun penyerangan
tersebut gagal, Raja Haji memiliki pertahanan kuat yang terdapat di Pulau
Bayan, Tanjung Buntung, Teluk Keriting dan di Bukit Kursi Pulau Penyengat. Raja
Haji kemudian menyusun setrategi dan membangun kekuatan untuk menyerang balik
pasukan Belanda, keberanian ini memicu sultan-sultan dan keturunan bangsawan
Melayu lain seperti Selangor turut serta dalam pertempuran. Perperangan antara
kedua pihak terjadi diperairan Bintan hingga Malaka, Perang ini dikenal dengan
Perang Sosoh. Kapal Lancang Kuning berperan besar dalam peperangan dalam menghadapi
terjangan meriam dari kapal Belanda, perang berakhir ketika Raja Haji tertembak
di dada hingga gugur di medan perang pada 18 Juni 1784. Sebagai bentuk penghormatan
untuk perjuangan Raja Haji, masyarakat Melayu memberikan gelar fi sabilillah
kepadanya.
Lukisan Raja Haji Fi Sabilillah (Sumber: BPCB Kota Tanjungpinang)
Meninggalnya Raja Haji akhirnya memicu pergolakan masyarakat Melayu di
berbagai tempat untuk berperang melawan Belanda dan Inggris, demi menghindari
kerugian perang dan jatuhnya banyak korban, Inggris dan Belanda mengadakan
kesepakatan pada Tahun 1824. Kesepakatan tersebut dikenal dengan sebutan
Traktat London, yang secara garis besar berbicara mengenai pembagian kawasan
koloni sesuai dengan pengaruhnya masing-masing. Dalam penentuan wilayah,
disepakati bahwa seluruh kawasan di bawah wilayah Singapura merupakan pengaruh
Belanda, sedangkan wilayah yang terletak di atas Singapura berada di bawah
pengaruh Inggris. Munculnya perjanjian ini, menandai berakhirnya Kota Piring
sebagai pusat pemerintahan.
Kawasan Situs Peninggalan Sejarah
Situs peninggalan Kerajaan yang dahulu dijadikan pusat pemerintahan itu,
berupa sebuah reruntuhan tembok benteng istana, banyak pecahan keramik peninggalan
kerajaan. Selain situs istana juga terdapat makam petinggi atau bangsawan
Melayu yakni, makam Daeng Marewa, Daeng Celak, Makam Tun Abbas (Tun bendahara
Johor), juga makam keluarga dan pengikut Kerajaan, serta tempat pemandian yang
biasa disebut Pemandian Putri.
Kawasan Makam YDMR II Daeng Celak (Ayah Raja Haji fi sabilillah)
(Foto : Kemendikbud)
Jika melihat lebih dalam, bangunan istana yang terdiri dari tiga tingkat,
berdiri dengan dasar semen bercampur tanah liat, yang bertahtakan piring perpaduan antara
warna hijau dan putih dengan corak pohon kayu Shongthai dan burung. Piring-piring
itu diperkirakan berasal dari peninggalan Dinasti Ming (1350-1668 Masehi). Tingkat
kedua pada Istana tersebut, bertahtakan tembaga berukir dan beraneka warna, diperkirakan
tembaga tersebut berasal dari Manila, Filipina. Sedangkan tingkat ketiga
berdinding kaca putih dari Belanda.
Benteng Istana Kota Piring yang masih tersisa (Foto : Kemendikbud)
Di dalam karyanya
yang berjudul Tuhfat Al-Nafis (Hadiah
yang berharga), Raja Ali Haji melukiskan tentang Istana Kota Piring: “Kota baru yang bertatahkan dengan pinggan
dan piring sangatlah indah, dan sekarang masih ada bekasnya, di ulu Riau
adanya. Dan, satu pula balai dindingnya. Cermin adalah tiang balai itu,
bersalut dengan kaki pahar. Kaki tiang itu yaitu tembaga, dan kota itu sebelah
atasnya berkisi-kisikan bocong. Kota itu ketika terkena sinar matahari
memancar-mancarlah cahayanya.”
“Kemudian dibuat pula satu
istana di Sungai Galang Besar. Perhiasan istana dari emas dan perak, hingga
rantai-rantai setelob-nya dengan rantai perak. Juga talam dan ceper kebanyakan
dibuat di negeri China dan seperti tepak dan balang air mawar daripada emas dan
perak yang dibuat di negeri Benila (Manila) yang berkarang dan bertakhtakan
intan dan yang ber-serodi. Dan, adapun pinggan mangkuk dan cawan khawa dan
cawan teh kebanyakan diperbuat di negeri China serta berserut dengan air emas.
Pada pantat cawan tersebut tertera nama Pulau Biram Dewa atau Malim Dewa”.
Kota Piring
seperti yang digambarkan oleh Raja Ali Haji dalam Tuhfat al-Nafis, menyebutkan keindahan Istana Kota Piring dengan
temboknya yang bertatahkan piring-piring yang indah. Namun penggambaran
tersebut cukup sulit untuk dikembalikan, mengingat keadaan Istana Kota Piring
yang saat ini hanya berupa sisa-sisa tembok saja dan ditemukan sedikit struktur
bangunan yang berkaitan dengan pondasi bangunan. Selain itu, semakin padatnya
rumah-rumah penduduk mengakibatkan tingkat kerusakan struktur yang masih
tersisa menjadi cukup tinggi. Alangkah indahnya jika situs-situs peninggalan
sejarah terkait kerajaan yang berada di Kota Piring dan Sungai Carang
dikembangkan dan diperbaharui, seperti yang dilakukan pemerintah pada situs
peninggalan sejarah di Pulau Penyengat. Apalagi banyak tempat di tanjungpinang
yang mengambil nama terkait Kerjaan Kota Piring, seperti Gedung Daerah Biram
Dewa, GOR Kaca Puri, Museum Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah, dan lain
sebagainya, sehingga berpotensi besar menarik wisatawan dan masyarakat
Tanjungpinang untuk lebih mengenal sejarah Kerajaan di Kota Tanjungpinang.
#tanjungpinangkampoengkite
DAFTAR PUSTAKA
https://linggakab.go.id/
Langganan:
Postingan (Atom)
Yang Populer Nie
-
ASALAMUALAIKUM WR.WB. SELAMAT MALAM DAN SALAM SEJAHTERA. ACARA PEMBUKAAN KEGIATAN SOSIALISASI PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN U...
-
Yang kami hormati Bapak Lurah Kec. Tanjungpinang Barat Bapak-bapak Ketua RW seluruh Kec. Tanjungpinang Barat Ibu-ibu, Bapak-bapak da...
-
Wanita dengan gejala sedikit kumis di atas bibir ditambah dengan siklus haid yang tidak teratur sebaiknya berhati-hati karena itu pertanda...