Kamis, 19 September 2019

Perjalanan Sejarah Kota Piring


Kerajaan di Hulu Riau dan Istana Kaca Puri, Kota Piring 

Tanjungpinang, sebuah kota yang nyaman dan indah, Ibukota Kepulauan Riau yang mempunyai ciri budaya Melayu. Keragaman suku dan budaya ada di kota ini, kota kelahiranku tercinta. Sejauh mata memandang, kota Gurindam ini menyimpan banyak peninggalan situs-situs sejarah Kerajaan Melayu Riau,  yang harus dirawat serta dilestarikan. Salah satu situs sejarah yang hampir terlupakan oleh masyarakat Tanjungpinang adalah Kota Piring.

Awal Mula Kerajaan

Istana Kota Piring terletak di RT 03/RW 07, Kelurahan Melayu Kota Piring, Kecamatan Tanjungpinang Timur, Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau. Kota Piring, Sebuah situs peninggalan sejarah Kerajaan Riau. Di kota Piring, terdapat Istana yang dahulu dijadikan sebagai pusat pemerintahan Kesultanan Melayu, Johor, Pahang, Riau, dan Lingga. Sejarah menyebutkan bahwa, dulu di Pulau Bintan berdiri Kerajaan Bentan. Kerajaan tersebut ada, jauh sebelum Kerajaan Melayu, Singapura, Malaka, Johor, Riau dan Siak Indrapura berdiri. Masyarakat Kerajaan Bentan, serumpun dengan masyarakat melayu di Malaysia dan Singapura. Sebutan Pulau Bentan, berasal dari kata “Gunung Berintan”, namun seiring berjalannya waktu sebutannya berubah menjadi Gunung Bentan dan kini dikenal dengan kata Bintan. Kerajaan Bintan kemudian menjadi bawahan Kerajaan Malaka pada Tahun 1396-1511. Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada Tahun 1511, penguasa Kerajaan Malaka yang bernama Sultan Ahmad melarikan diri, dan  memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Malaka ke Pulau Bintan. Namun, terjadi sengketa di dalam keluarga Kerajaan yang menyebabkan Sultan Ahmad terbunuh. Sultan Ahmad kemudian dimakamkan di Bukit Batu, dan kedudukan Sultan Ahmad digantikan oleh Sultan Mahmud.

Pada saat Kerajaan Bintan diserang oleh Portugis Pada Tahun 1526, Sultan Mahmud dan Laksamana Hang Nadim berperang tak gentar melawan penjajah, namun  usaha mereka memperjuangkan Kerajaan Bintan dari tangan Portugis gagal. Belanda dan Inggris sebagai pesaing dagang Portugis, tidak tinggal diam setelah Portugis menguasai perairan Semenanjung Malaka. Belanda yang didukung Johor dan Aceh merebut Malaka dari tangan Portugis, pada 14 Januari 1614. Setelah itu, keturunan Sultan Mahmud pada Tahun 1677 membentuk persekutuan kerajaan Melayu, meliputi Kerajaan Johor, Pahang, Riau, dan Lingga, yang berpusat di Daik. Pada awal persekutuan dipimpin oleh Sultan Ibrahim Syah (1677-1685), kemudian digantikan oleh anaknya, Sultan Mahmud Syah (1685-1699). Pergantian Raja tersebut menimbulkan pertikaian di dalam Kerajaan, terjadi perselisihan antara Hulubalang yang bernama Laksamana Megat Sri Rama yang membunuh Sultan Mahmud Syah, kemudian Kekuasaan beralih ke tangan Bendahara Tun Abdul Jalil yang memindahkan kembali pusat pemerintahan ke Johor.

 Pada Tahun 1718, Raja Kecil dari Siak menentang pemerintahan Sultan Johor yang dipimpin oleh Tun Abdul Jalil, beliau mengaku sebagai keturunan Sultan Mahmud Syah. Tun Abdul Jalil pun berusaha menggulingkan kekuasaan Raja Kecil, upaya merebut kekuasaan tersebut didukung oleh beberapa keturunan bangsawan Melayu yaitu, Melayu Minangkabau, dan Suku Laut. Raja Kecil terus melancarkan serangan ke Johor hingga akhirnya Tun Abdul Jalil terbunuh. Putra Tun Abdul Jalil yang bernama Sulaiman Badrul Alam Syah menjadi dendam atas terbunuhnya sang Ayah, beliau meminta bantuan dari Opu Bugis Lima Bersaudara yang terdiri dari Daeng Parani, Daeng Marewah, Daeng Chelak, Daeng Menambung, dan Daeng Kemasi untuk menyerang Kerajaan yang dipimpin Raja Kecil. Terjadi peperangan antara pasukan Sulaiman Badrul Alam Syah yang bergabung dengan angkatan perang Bugis melawan pasukan Raja Kecil di Bintan dan Siak, Raja Kecil kalah dalam pertempuran lantas Sulaiman Badrul Alam Syah diangkat dan dinobatkan sebagai Sultan Johor.

Di bawah kepemimpinan Sulaiman Badrul Alam Syah pusat Kerajaan Johor kembali ke Bintan dengan dibangunnya istana Kota Piring yang menjadi pusat pemerintahan, Kota Piring menjadi simbol kedaulatan Kesultanan Melayu (Johor, Pahang, Riau, Lingga). Penetapan Kota Piring sebagai pusat pemerintahan tak lepas dari peran Laksamana Malim Dewa seorang juru mudi kapal kebesaran bangsa Melayu, Lancang Kuning. Beliau menemukan sebuah tempat di bagian hulu Sungai Carang yang tepat sebagai pusat pemerintahan. Sejak 4 Oktober 1722 Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah memerintah di kerajaan itu, kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Sultan Jalil Muazam Syah (1760 -1761), dan selanjutnya dipimpin oleh cucunya yang bernama Sultan Abdul Jalil Syah atau yang dikenal dengan Sultan Mahmud Syah III (1761-1812).

Pada saat Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah memerintah, Daeng Marewah diberi kehormatan memangku jabatan sebagai Yang Dipertuan Muda (Raja) Riau I (1722-1728), setelah wafat digantikan oleh Daeng Celak sebagai Yang Dipertuan Muda Riau II (1728-1745). Pusat Kesultanan Kerajaan Riau berkedudukan di Sungai Carang Hulu Riau semakin dikenal ketika seorang Bugis yang diberi gelar Yang Dipertuan Muda Riau menjadi bagian penting dari susunan pemerintahan, Beliau mendapat gelar tersebut karena teguh dalam mempertahankan kedaulatan kerajaan dari campur tangan Belanda, seorang Bugis tersebut ialah Yang Dipertuan Muda Riau IV, Raja Haji.

Raja Haji menjadi Yang Dipertuan Muda Riau IV menggantikan Daeng Kamboja sebagai Yang Dipertuan Muda III, Raja Haji menjadi sosok yang disegani karena tegas terhadap Penjajah. Istana Kota Piring merupakan Ibukota Kesultanan Johor, Pahang, Riau, dan Lingga dibangun oleh Raja Haji (1777-1784). Pembangunan Istana baru ini sebagai upaya pengembangan kawasan baru dari kesultanan Kerajaan di Hulu Riau, namun sekarang lebih dikenal dengan Kota Lama. Raja Haji kemudian mendirikan Istana baru di Pulau Biram Dewa, yang dikenal dengan nama Istana Kota Piring. Pada masa sekarang pusat Kesultanan Kerajaan di Hulu Riau dikenal dengan sebutan Kota Lama dan Pulau Biram Dewa sebagai Kota Baru. Dalam sejarahnya, dijelaskan bahwa Raja Haji membuat Istana di Pulau Biram Dewa, sebuah Istana bertahta pinggan dan piring, dinding nya berlapis cermin, kaki tiangnya berbalut tembaga sehingga apabila terkena sinar matahari dan sinar bulan memancarkan cahaya. 

Wilayah Pulau Biram Dewa, Letak Istana Kaca Puri, Kota Piring
(Sumber: BPCB Kota Tanjungpinang)

Di sisi lain, Belanda berseteru dengan Inggris dalam penguatan pasukan di Semenanjung Malaka, Belanda melibatkan masyarakat Melayu dalam pertikaian itu. Puncak perseteruan terjadi ketika Belanda kemudian secara sepihak menyita kapal milik Inggris, Belanda Dituduh melanggar perjanjian karena tidak menyerahkan sebagian muatan kapal inggris yang didapatkan tersebut kepada Kerajaan Johor. Kapal Inggris tersebut dinahkodai Kapten Robert Geddes, yang membawa 1.154 peti candu, kapal tersebut kemudian ditawan dan dirampas isinya oleh Residen Belanda yaitu Gerrid Pangal, atas perintah dari Gubenur Melaka Pieter Geradus de Bruijn. Belanda merampas kapal Inggris dan barang sitaannya dengan tidak melibatkan Raja Haji sebagai otoritas lokal Kesultanan Johor. Raja Haji kemudian mendatangi Belanda untuk melakukan perundingan, namun perundingan tersebut mengalami kebuntuan dan gagal, Belanda tersinggung dengan sikap Raja Haji yang dianggap berpihak kepada Inggris.

Belanda menyerang Kota Piring pada 6 Januari 1784, namun penyerangan tersebut gagal, Raja Haji memiliki pertahanan kuat yang terdapat di Pulau Bayan, Tanjung Buntung, Teluk Keriting dan di Bukit Kursi Pulau Penyengat. Raja Haji kemudian menyusun setrategi dan membangun kekuatan untuk menyerang balik pasukan Belanda, keberanian ini memicu sultan-sultan dan keturunan bangsawan Melayu lain seperti Selangor turut serta dalam pertempuran. Perperangan antara kedua pihak terjadi diperairan Bintan hingga Malaka, Perang ini dikenal dengan Perang Sosoh. Kapal Lancang Kuning berperan besar dalam peperangan dalam menghadapi terjangan meriam dari kapal Belanda, perang berakhir ketika Raja Haji tertembak di dada hingga gugur di medan perang pada 18 Juni 1784. Sebagai bentuk penghormatan untuk perjuangan Raja Haji, masyarakat Melayu memberikan gelar fi sabilillah kepadanya.


Lukisan Raja Haji Fi Sabilillah (Sumber: BPCB Kota Tanjungpinang)

Meninggalnya Raja Haji akhirnya memicu pergolakan masyarakat Melayu di berbagai tempat untuk berperang melawan Belanda dan Inggris, demi menghindari kerugian perang dan jatuhnya banyak korban, Inggris dan Belanda mengadakan kesepakatan pada Tahun 1824. Kesepakatan tersebut dikenal dengan sebutan Traktat London, yang secara garis besar berbicara mengenai pembagian kawasan koloni sesuai dengan pengaruhnya masing-masing. Dalam penentuan wilayah, disepakati bahwa seluruh kawasan di bawah wilayah Singapura merupakan pengaruh Belanda, sedangkan wilayah yang terletak di atas Singapura berada di bawah pengaruh Inggris. Munculnya perjanjian ini, menandai berakhirnya Kota Piring sebagai pusat pemerintahan.


Kawasan Situs Peninggalan Sejarah

Situs peninggalan Kerajaan yang dahulu dijadikan pusat pemerintahan itu, berupa sebuah reruntuhan tembok benteng istana, banyak pecahan keramik peninggalan kerajaan. Selain situs istana juga terdapat makam petinggi atau bangsawan Melayu yakni, makam Daeng Marewa, Daeng Celak, Makam Tun Abbas (Tun bendahara Johor), juga makam keluarga dan pengikut Kerajaan, serta tempat pemandian yang biasa disebut Pemandian Putri.















Kawasan Makam YDMR II Daeng Celak (Ayah Raja Haji fi sabilillah)
(Foto : Kemendikbud)

Jika melihat lebih dalam, bangunan istana yang terdiri dari tiga tingkat, berdiri dengan dasar semen bercampur tanah liat, yang bertahtakan piring perpaduan antara warna hijau dan putih dengan corak pohon kayu Shongthai dan burung. Piring-piring itu diperkirakan berasal dari peninggalan Dinasti Ming (1350-1668 Masehi). Tingkat kedua pada Istana tersebut, bertahtakan tembaga berukir dan beraneka warna, diperkirakan tembaga tersebut berasal dari Manila, Filipina. Sedangkan tingkat ketiga berdinding  kaca putih dari Belanda.















Benteng Istana Kota Piring yang masih tersisa (Foto : Kemendikbud)

Di dalam karyanya yang berjudul Tuhfat Al-Nafis (Hadiah yang berharga), Raja Ali Haji melukiskan tentang Istana Kota Piring: “Kota baru yang bertatahkan dengan pinggan dan piring sangatlah indah, dan sekarang masih ada bekasnya, di ulu Riau adanya. Dan, satu pula balai dindingnya. Cermin adalah tiang balai itu, bersalut dengan kaki pahar. Kaki tiang itu yaitu tembaga, dan kota itu sebelah atasnya berkisi-kisikan bocong. Kota itu ketika terkena sinar matahari memancar-mancarlah cahayanya.”

“Kemudian dibuat pula satu istana di Sungai Galang Besar. Perhiasan istana dari emas dan perak, hingga rantai-rantai setelob-nya dengan rantai perak. Juga talam dan ceper kebanyakan dibuat di negeri China dan seperti tepak dan balang air mawar daripada emas dan perak yang dibuat di negeri Benila (Manila) yang berkarang dan bertakhtakan intan dan yang ber-serodi. Dan, adapun pinggan mangkuk dan cawan khawa dan cawan teh kebanyakan diperbuat di negeri China serta berserut dengan air emas. Pada pantat cawan tersebut tertera nama Pulau Biram Dewa atau Malim Dewa”.

Kota Piring seperti yang digambarkan oleh Raja Ali Haji dalam Tuhfat al-Nafis, menyebutkan keindahan Istana Kota Piring dengan temboknya yang bertatahkan piring-piring yang indah. Namun penggambaran tersebut cukup sulit untuk dikembalikan, mengingat keadaan Istana Kota Piring yang saat ini hanya berupa sisa-sisa tembok saja dan ditemukan sedikit struktur bangunan yang berkaitan dengan pondasi bangunan. Selain itu, semakin padatnya rumah-rumah penduduk mengakibatkan tingkat kerusakan struktur yang masih tersisa menjadi cukup tinggi. Alangkah indahnya jika situs-situs peninggalan sejarah terkait kerajaan yang berada di Kota Piring dan Sungai Carang dikembangkan dan diperbaharui, seperti yang dilakukan pemerintah pada situs peninggalan sejarah di Pulau Penyengat. Apalagi banyak tempat di tanjungpinang yang mengambil nama terkait Kerjaan Kota Piring, seperti Gedung Daerah Biram Dewa, GOR Kaca Puri, Museum Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah, dan lain sebagainya, sehingga berpotensi besar menarik wisatawan dan masyarakat Tanjungpinang untuk lebih mengenal sejarah Kerajaan di Kota Tanjungpinang.

#tanjungpinangkampoengkite


DAFTAR PUSTAKA
https://linggakab.go.id/



Terbaru

Jembatan 1 Dompak, Tanjungpinang... Diwaktu malam

Yang Populer Nie